Selasa, 05 April 2011

BPK Temukan Dugaan Markup Dana TKI di Aceh


BANDA ACEH - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan praktik kejahatan keuangan negara yang diduga dilakukan anggota DPR kabupaten/kota dengan cara memanipulasi kemampuan keuangan daerahnya, dari rendah dinaikkan ke level sedang. Tujuan manipulasi tersebut adalah untuk mendapatkan dana tunjangan komunikasi intensif (TKI) dua sampai tiga kali lipat dari uang representasi bulanan.

BPK mendapati praktik menyimpang itu tatkala melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap penggunaan dana APBK kabupaten/kota tahun 2009 di sejumlah kabupaten/kota di Aceh, misalnya Kota Langsa, Kabupaten Aceh Timur, dan Simeulue.

“Di Kota Langsa, kemampuan keuangan daerahnya termasuk kategori rendah, tapi dana TKI yang diterima anggota DPRK-nya masuk kategori keuangan sedang,” ungkap Kepala BPK Perwakilan Aceh, Abdul Rifai Sholeh melalui Kabag Hukum dan Humasnya, Rizaldi kepada Serambi di ruang kerjanya, Senin (4/4).

Daerah yang keuangannya masuk dalam kategori rendah, sebut Rizaldi, menurut Permendagri Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penggelompokan Kemampuan Keuangan Daerah, Penganggaran, dan Pertanggungjawaban Penggunaan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan DPRD serta Tata Cara Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif serta Dana Operasional, hanya boleh mengambil dana TKI-nya dengan besaran satu kali uang representasi ketua DPRK-nya, yakni senilai Rp 2,1 juta.

Akan tetapi, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap APBK 2009, anggota DPRK Kota Langsa ternyata menerima dana TKI Rp 4,2 juta/orang/bulan. Ini artinya, mereka menerima dua kali lipat dari dana representasi.

BPK akhirnya mengetahui hal itu dari selisih pendapatan Kota Langsa dengan anggaran belanja pegawainya hanya sebesar Rp 175,817 miliar atau masih di bawah Rp 200 miliar. Adapun total pendapatan daerahnya tahun 2009 dari pendapatan asli daerah (PAD), dana bagi hasil migas, serta dana alokasi umum (DAU) mencapai Rp 303,039 miliar. Sedangkan total belanja pegawainya, mencakup gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan beras, tunjangan PPh Pasal 21 hanya Rp 127,721 miliar.

Karena selisihnya masih berada di bawah Rp 200 miliar, maka kemampuan keuangan daerahnya termasuk dalam kategori rendah dan hanya boleh menerima besaran dana TKI satu kali besaran dana representatif ketua DPRK-nya, yaitu Rp 2,1 juta/orang/bulan, bukan Rp 4,2 juta/orang/bulan.

Akan tetapi, kalau selisih antara pendapatan daerah dan belanja gaji pegawainya di atas Rp 200 miliar, barulah anggota DPRK-nya bisa menerima dana TKI dua kali besaran dana representasi ketua DPRK, yaitu Rp 4,2 juta/orang/bulan.

Akibat kesalahan yang dilakukan Pimpinan dan Anggota DPRK Langsa bersama wali kotanya dalam pembayaran dana TKI kepada anggota dewannya, sebut Rizaldi, sehingga keuangan daerah menderita kerugian Rp 480 juta. Kerugian ini wajib dikembalikan.

Atas temuan ini pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Langsa akan berkonsultasi dengan BPK untuk mengetahui kebenaran pelanggaran Permendagri Nomor 21 Tahun 2007 yang dilakukan Wali Kota, Pimpinan, dan Anggota DPRK Kota Langsa.

Kasus yang sama juga terjadi di DPRK Simeulue. Kerugian keuangan daerahnya lebih besar lagi, yakni mencapai Rp 987 juta, untuk dua tahun anggaran, yaitu 2007/2008. BPK mengetahui bahwa bupati, pimpinan, dan anggota DPRK-nya melanggar Permendagri Nomor 21 Tahun 2007, setelah auditor BPK mengaudit dana APBK 2007 dan 2008 Simeulue. Ternyata selisih pendapatan daerah dengan pengeluaran gaji pegawainya pada tahun 2007 senilai Rp 174,412 miliar dan tahun 2008 Rp 179,420 miliar.

Ini artinya, sebut Rizaldi, masih berada di bawah Rp 200 miliar. Dengan demikian, kemampuan keuangan daerahnya masuk kategori rendah dan anggota pimpinan dan anggota DPRK-nya hanya bisa menerima dana TKI satu kali uang representasi ketua DPRK Rp 2,1 juta/orang/bulan.     

Kalau di Aceh Barat, kata Rizaldi, masalahnya adalah pengembalian dana TKI anggota DPRK-nya tahun 2006 yang bermasalah Rp 1,162 miliar, sampai berakhir masa baktinya tahun 2009 belum dikembalikan.

Kabag Hukum dan Humas BPK Perwakilan Aceh, Rizaldi dan sumber  Serambi dari Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA) mengatakan, mengatrol kategori kemampuan keuangan dari rendah menjadi sedang atau besar, dengan motif politis atau ekonomi, yaitu supaya dana belanja operasi pemerintahan (BOP) bupati/wakil bupati/wali kota/wakil wali kota, maupun BOP pimpinan DPRK dan dana TKI anggota legislatif yang diterima bisa lebih besar, dua sampai tiga kali lipat dari dana representasi ketua DPRK, merupakan kejahatan.

Modus operandi kejahatan itu, biasanya dilakukan dengan cara memperbesar target PAD. Padahal, pada akhir tahun realisasi PAD-nya tidak tercapai. Contohnya Langsa, pada tahun 2009 menargetkan PAD Rp 24,4 miliar, tapi realisasinya Rp 12,8 miliar. Begitu juga Simeulue, menargetkan PAD-nya Rp 20 miliar, tapi terealisasi Rp 4 miliar.

Hal yang sama juga terjadi di Aceh Timur. Pada tahun 2009 target PAD-nya dipatok Rp 20 miliar, tapi realisasinya hanya Rp 8,7 miliar. Tahun 2010 target PAD-nya dinaikkan mencapai Rp 46,780 miliar, padahal realisasinya hanya Rp 9,459 miliar. Karena sudah dua tahun realisasi target PAD-nya jauh di bawah target atau tidak tercapai, maka DPKKA menyarankan pada tahun 2011 ini, Pemkab Aceh Timur menetapkan target PAD-nya cukup Rp 14,2 miliar saja.

Sumber Serambi di DPKKA menyarankan, KPK dan aparatur penyidik, yaitu jaksa dan polisi, perlu segera bekerja sama dengan BPK untuk membongkar kejahatan pembololan keuangan daerah yang sudah sangat kronis di sejumlah kabupaten/kota di Aceh itu.

Membengkakkan target PAD, dengan tujuan untuk memperkaya kelompoknya, ditengarai masih terus dipraktikkan sejumlah kabupaten/kota hingga dalam penyusunan APBK 2011 ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar